Senin, 28 Maret 2011

Teritorialitas

Teritorialitas

Pengertian Teritorialitas
Holahan (dalam Iskandar, 1990, mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu :
·       kepemilikan atau hak dari suatu tempat
·      personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
·      hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar
·      pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.

Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan 3 kumpulan tingkat spesial yang saling terkait satu sama lain :
·       personal space
·      home base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif
·      home range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang 

Teritorialitas dibagi menjadi tiga, yaitu : teritorial primer, teritorial sekunder dan teritorial umum.
Teritorialitas Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan menimbulkan perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah serius terhadap psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitas. Contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya : Ruang kerja,Ruang tidur.
Teritorialitas SekunderJenis teritori ini lebih longgar pemakaian dan kontrol perorangannya. Teritorial ini dapat digunakan orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi – publik.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya : Kantor, Toilet
Teritorialitas UmumTeritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan – aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.
Contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya : Ruang kuliah, Bangku Bus.
Perbedaan Budaya
Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya seseorang yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada diluar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. Sebagai contoh seorang Eropa datang dan berkunjung ke Asia dan dia melakukan interaksi sosial di ruang publik negara yang dikunjungi, ini akan sangat berbeda sikap teritorinya.
Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Teritorialitas pada setiap negara berbeda-beda tergantung dari budaya yang dimiliki oleh negara tersebut. Jenis kelamin juga mempengaruhi teritorialitas seeorang, dimana wanita memerlukan ruang yang lebih kecil dibandingkan pria. Lalu penduduk desa lebih tinggi toleransinya dalam menentukan teritorialitasnya dibandingkan dengan penduduk yang tinggal diperkotaan.

1. Prinsip Teritorial (Territorial Principle):
Prinsip ini lahir dari pendapat bahwa sebuah negara memiliki kewenangan absolut terhadap orang, benda dan kejadian-kejadian di dalam wilayahnya sehingga dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap siapa saja dalam semua jenis kasus hukum (kecuali dalam hal adanya kekebalan yurisdiksi seperti yang berlaku kepada para diplomat asing). Penerapan asas ini akan menemui kesulitan dalam hal kejadian kriminal yang melibatkan dua atau lebih negara.
Contoh:
Misalnya seorang pria menembakkan senjatanya di dalam wilayah Negara Ruritania dan melewati batas Negara tersebut sehingga mengenai pria lain dan terbunuh di negara Bloggovia.
Untuk menyelesaikan masalah ini, prinsip territorial telah mengenal dua metode pelaksanaan, yaitu secara “subyektif” dan secara “obyektif

Subjective territorial principle:
Prinsip ini memberikan yurisdiksi kepada negara yang di wilayahnya tindakan kriminal “dimulai” meskipun akibatnya terjadi di wilayah Negara lain.

Objective territorial principle:
Merupakan kebalikan dari prinsip diatas, prinsip ini memberikan yurisdiksi kepada negara dimana akibat dari perbuatan kriminal tersebut terjadi, meskipun dimulai di luar wilayah Negara tersebut.

Contoh kasus:
Komando teritorial TNI AD pasca Gerakan Mei 1998
Reformasi internal TNI AD setelah kejatuhan rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, khususnya pembentukan kembali Kodam Pattimura di Maluku dan Kodam Iskandar Muda di Nanggroe Aceh Darussalam pasca Gerakan Mei 1998. Bagi pihak TNI (TNI AD) program tersebut merupakan jawaban atas tekanan publik politik yang menghendaki TNI kembali ke barak. Namun pokok masalahnya adalah program tersebut tetap tidak memuaskan publik politik (kubu reformasi), karena disamping program ini lahir dari inisiatif TNI sendiri juga dinilai belum mampu menghapus keseluruhan praktek `dwifungsi ABRI' termasuk melikuidasi/merestrukturisasi Koternya. Bagi TNI AD Kodam Bukit Barisan; meliputi Aceh dan Kodam Trikora; meliputi Maluku keduanya dinilai sudah tidak efektif dan efesien lagi dalam menangani konflik tersebut. Selain pertimbangan konflik penambahan Kodam juga didasarkan atas berbagai sebab-sebab internal dan ekternal TNI AD. Sebab-sebab internal TNI AD diidentifikasi ke dalam faktor profesionalisme, orientasi politik dan orientasi ekonomi. Sedang sebab-sebab eksternal TNI AD meliputi faktor rekomendasi kebijakan (formulasi politik dan format kebijakan) pemerintahan sipil dan faktor stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Pasca Gerakan Mei 1998 tugas dan fungsi -Kodam-- Koter TNI AD masih menyentuh pelaksanaan fungsi sospol. Penyebab utamanya adalah karena dalam struktur Koter TNT AD masih terdapat fungsi non-militer; fungsi pembinaan teritorial (binter) yang dalam prakteknya dapat bermakna luas. Kebijakan TNI AD menambah Kodamnya menunjukkan kecenderungannya ke arah `pretorian populis' (mass pretorian) dan `moderator pretorian' untuk beradaptasi dengan pemerintahan sipil `model liberal' tuntutan reformasi, setelah terlebih dahulu beralih ke tipologi 'arbitrator army' untuk tetap sebagai `pasukan bedah besi' dengan sedikit berpartisipasi di pemerintahan (co-ruler). Koter TNI AD pasca Gerakan Mei 1998 yang masih terbukti memiliki fungsi sospol menunjukkan bahwa konteslasi hubungan sipil-militer masih berlangsung. Hal ini tentu akan mempengaruhi proses pembangunan pemerintahan demokratis karena menghambat pembentukan institusi militer profesional sebagai syarat utamanya. Kepustakaan : 74 buku, 11 dokumen, 2 makalah, 3 peraturan hukum, 35 surat kabar/majalah, dan 6 internet.
           



SUMBER:

Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998.
http://file.upi.edu, diakses 28 Maret 2011, 21.27
http://eprints.ui.ac.id/6852/, diakses 28 Maret 2011, 22.56





Jumat, 18 Maret 2011

RUANG PERSONAL

RUANG PERSONAL
Pengertian Ruang personal
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Menurut Somrner (dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang’ dengan batas-batas yang tidak jelas dirnana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan nmng personal sebagai jarak daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain:
Pertama, ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang : dengan orang lain.
Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. 
Ketiga, pengaturan ruang personal mempakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, makadapat berakibat kecemasan, stres, dan bahkanperkelahian.
Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Menurut Edward T. Hall
Seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spasial yang disebut Zona Interaksi Sosial meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak publik.
1. Jarak Intim
• Jarak yang dekat/akrab atau keakraban dengan jarak 0 – 18 inci.
• Pada jarak 0 – 6 inci, kontak fisik merupakan hal yang penting.
• Jarak yang diperuntukkan pada “intimate lovers”
• Menyenangkan ketika berinteraksi dengan orang lain yang dicintai, tidcak menyenangkan dalam situasi yang lain.
2. Jarak Pribadi• Karakteristik keregangan yang biasa dipakai individu satu sama lain.
• Jarak antara 1,5 – 4 kaki
• Fase dekat (1,5 – 2,5 kaki) dan fase jauh (2,5 – 4 kaki)
• Fase dekat : masih memungkinkan pertukaran sentuhan, bau, pandangan, dan isyarat – isyarat lainnya.
• Fase jauh : jarak dimana masing – masing orang dapat saling menyentuh dengan mengulurkan tangan. Komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati.
• Transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.
3. Jarak Sosial• Jarak 4 – 12 kaki
• Jarak yang memungkinkan terjadinya kontak social yang umum, seperti hubungan bisnis.
• Fase dekat (4 – 7 kaki)
• Fase jauh (7 – 12 kaki)
4. Zona Publik• Jarak 12 – 25 kaki
• Isyarat – isyarat komunikasi sedikit
• Situasi formal atau pembicaraan umum / orang – orang yang berstatus lebih tinggi.


CONTOH KASUS RUANG PERSONAL
BERDASARKAN BEBERAPA FAKTOR:
Faktor situasional
             Situasi keadaan ruang akan sangat mempengaruhi keberadaan ruang personal. Sebagai contoh, ketika ada wanita yang sangat hobi mendengarkan lagu-lagu bertemakan cinta, suasana yang sering ditimbulkan wanita itu adalah kesan melankolis. Atau dengan kata lain lagu-lagu cinta mengubah karakter pria itu menjadi lebih “nge-pop”. Seperti kata garin nugroho anak-anak muda kita sudah terjangkit yang namanya “virus pop”. akibatnya kalau anak “pop” lagi malas bekerja mereka akan sangat hobi mengunjungi mal-mal atau mengikuti istilah mereka “cuci mata” sebagai tempat berteduh pikiran mereka. Trend-nya mal sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda, disiasati oleh para pengembang untuk membuat lebih banyak proyek pembangunan yang sifatnya konsumtif . Sehingga efeknya adalah keberadaan RTH (ruang tanah hijau ) yang menjadi berkurang atau menghilangkan “modus kebersamaan” . terlihat bahwa situasi ruang yang menyediakan berbagai macam fasilitas dan tidak terseleksi dengan baik, akan mempengaruhi keberadaan “modus kebersamaan” ke arah yang lebih global.
 Faktor perbedaan individual
            Perbedaan antar individu akan sangat menentukan ukuran ruang personal. Misalnya norma budaya/ sub-budaya, hal ini akan sangat penting dalam menjaga diri untuk bersosialisasi dan menemukan “modus kebersamaan”. Dalam penilitian (aielloo, 1087, hayduk, 1983; remland, jones, & brinkman, 1991). Hall (1966) mengemukakan, dalam budaya dengan “kontak” indera yang tinggi, di mana individu menggunakan ciuman dan sentuhan alat indera lainnya, orang seharusnya  berinteraksi dalam jarak yang lebih dekat. Hipotesis ini didukung oleh penelitian terhadap orang hispanik, perancis, yunani, dan arab yang menjaga jarak interaksi lebih dekat daripada orang amerika. Kesan kebersamaan akan terlihat pada budaya arab yang memperlakukan tamu sebagai raja. Kedekatan yang diraih antar-sesama personal dalam tingkat global juga sangat penting dalam mengusung suara perdamaian dunia. Seperi misalnya kenapa negara timur tengah yang sudah terbiasa dengan prinsip kedekatan personal, justru tidak memilih untuk saling bergabung dengan negara lain untuk melawan penjajahan yang dilakukan israel dan amerika terhadap palestina.
            Perilaku sehari-hari personal dalam menjalankan fungsi sosial, selayaknya dapat menjadi Penataan ruang yang kita pakai untuk bersosialisasi demi mencapai “modus kebersamaan.”
 Faktor fisikal ruangan
            Pada faktor fisikal ruangan akan berkaitan dengan pemilihan bahan material untuk ruang yang kita huni. Pada majalah konstruksi edisi no.368 menjelaskan pemilihan material bangunan, masalah terbesar dari perancangan bangunan properti, adalah penggunaan bahan-bahan seperti: batako, batu, dan beton sebagai dinding bangunan. Pada siang hari, ketika terkena sinar matahari, dinding yang terbuat dari beton, akan menyerap panas dari matahari. Panas ini, selanjutnya akan dikeluarkan kembali di malam hari. Pada daerah beriklim dingin seperti eropa dan amerika, hal tersebut akan memberikan efek positif, karena akan mengurangi penggunaan pemanas ruangan. Tetapi, di negara beriklim tropis seperti indonesia, hal tersebut justru akan sangat mengganggu. Karena, pelepasan udara oleh dinding akan menyebabkan rumah terasa lebih panas dan kering, dan banyak menyerap energi dalam pemakaian mesin pendingin.
            Efek global yang terjadi adalah memicu personal untuk memilih ruang dengan menggunakan mesin pendingin. Dan kalau hal ini menjadi tren, akan sangat memperparah pemanasan global di dunia. Atau dengan kata lain menghilangkan “modus kebersamaan”.
Berkorelasi
            “modus kebersamaan” yang lebih menjunjung nilai-nilai luhur dalam manusia akan sangat terlihat dalam pemaknaan personal terhadap ruangnya. Sehingga pemaknaan “aku” dan orang lain akan menjadi kesan seperti yang digambarkan rasulullah
antara muslim dengan muslim yang lain seperti satu bangunan yang saling mengokohkan antara yang satu dengan yang lain.” (HR. Bukhori)
perumpamaan kaum mukminijn dalam cinta kasih dan menyayangi mereka seperti satu jasad, jika ada satu anggota tubuh ada yang sakit,maka seluruh tubuh akan menggigil karena demam.” ( HR. Muslim).
Korelasi antar ruang dengan ruang personal akan membuat “modus kebersamaan” menjadi lebih bermakna, Suatu proses melihat yang tidak ada keraguannya  untuk melihat suatu yang hakiki, melihat yang rahmatan lil alamin. Wallahu alam bishawab.

Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Menurut Hall norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruangnya, seperti susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu yang satu dengan individu yang lainnya. Hall menggambarkan bagaimana anggota dari bermacam-macam kelompok budaya tersebut memiliki kebiasaan spasial yang berbeda. Orang Jerman lebih sensitif terhadap gangguan , memilik gelembung ruang personal lebih besar , dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu orang Inggris merupakan orang-orang pribadi. Akan tetapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana-sarana verbal dan non-verbal dibandingkan sarana fisik atau lingkungan.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Variasi budaya dalam komunikasi nonverbal

Budaya asal seseorang amat menentukan bagaimana orang tersebut berkomunikasi secara nonverbal. Perbedaan ini dapat meliputi perbedaan budaya Barat-Timur, budaya konteks tinggi dan konteks rendah, bahasa, dsb. Contohnya, orang dari budaya Oriental cenderung menghindari kontak mata langsung, sedangkan orang Timur Tengah, India dan Amerika Serikat biasanya menganggap kontak mata penting untuk menunjukkan keterpercayaan, dan orang yang menghindari kontak mata dianggap tidak dapat dipercaya.




SUMBER:
http://elearning.gunadarma.ac.id/, diakses 17 maret 2011 pukul 15.46
http://webcache.googleusercontent.com, diakses 17 maret 2011 pukul 15.46
http://docs.google.com,
diakses 17 maret 2011 pukul 15.46
Septiaji W./berbagai sumber,(Dalam http://bismillah444000.blog.friendster.com/2008/02/ruangruang-personal-dan-modus-kebersamaan/), diakses 17 maret 2011 pukul 15.46
http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_nonverbal, diakses 17 maret 2011 pukul 15.46









Senin, 14 Maret 2011

PENDEKATAN TEORI DAN METODE PENELITIAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN

PENDEKATAN TEORI DAN METODE PENELITIAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Dalam hubungan manusia dengan lingkungannya yang terdapat pada psikologi lingkungan memiliki teori dan metode penelitian tersendiri. Maka psikologi lingkungan ini dapat dikaji atau memiliki teori-teori yang cukup baik seperti contoh-contoh kasus yang terjadi dilingkungan sekitar kita ternyata memiliki dasar teori.

Teori psikologi lingkungan

Ada tiga tradisi besar orientasi teori Psikologi dalam menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Pertama, perilaku disebabkan faktor dari dalam (deterministik). Kedua, perilaku disebabkan faktor lingkungan atau proses belajar. Ketiga perilaku disebabkan interaksi manusia-lingkungan. Psikologi Lingkungan merupakan ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik, merupakan salah satu cabang Psikologi yang tergolong masih muda.
Teori-teori Psikologi Lingkungan dipengaruhi, baik oleh tradisi teori besar yang berkembang dalam disiplin Psikologi maupun diluar Psikologi. Grand theories yang sering diaplikasikan dalam Psikologi Lingkungan seperti misalnya teori kognitif, behavioristik, dan teori medan. Dikatakan oleh Vcitch & Arkelin (1995) bahwa belum ada grand theories psikologi tersendiri dalam Psikologi Lingkungan. Yang ada sekarang ini baru dalam tataran teori mini. Hal ini didasarkan pandangan, bahwa beberapa teori memang dibangun atas dasar data empiris tetapi sebagian yang lain kurang didukung oleh data empiris. Kedua, metode penelitian yang digunakan belum konsisten. Oleh karenanya dalam kesempatan ini, disajikan paparan secara garis besar aplikasi 3 tradisi besar orientasi teori dalam Psikologi dan selanjutnya akan dipaparkan lebih mendalam mengenai teori mini dalam Psikologi Lingkungan. Teori-teori yang berorientasi deterministik lebih banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena kognisi ligkungan. Dalam hal ini, teori yang digunakan adalah teori Gestalt. Menurut teori Gestalt, proses persepsi dan kognisi manusia lebih penting daripada memepelajari perilaku tampak nya ( overt behaviour ). Bagi Gestalt, perilaku manusia lebih disebabkan oleh proses-proses persepsi. Dalam kaitannya dengan Psikologi Lingkungan, maka persepsi lingkungan merpakan salah satu aplikasi dari teori Gestalt.
Membahas perihal teori-teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori-teori, baik di dalam maupun di luar disiplin psikologi. Dalam kaitan antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme, dan psikologi Gestalt (Veitch & Arkkelin, 1995).
Geografi. Beberapa ahli sejarah dan geografi telah mencoba menerangkan jatuh-bangunnya peradaban yang disebabkan oleh karakteristik lingkungan. Sebagai contoh, Toynbee (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengembangkan teori bahwa lingkungan seperti topografi, iklim, vegetasi, ketersediaan air, dan sebagainya adalah tantangan bagi penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut. Barry, Child dan Bacon (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengusulkan bahwa kebudayaan masyarakat pertanian yang tidak nomaden menekankan pola asuh yang bertanggungjawab ketaatan dan kepatuhan. Sebaliknya pada kebudayaan nomaden pola asuh yang ditekankan adalah pada kemandirian dan akal.
Biologi Ekologi. Perkembangan teori-teori ekologi menunjukkan adanya perhatian terhadap
adanya ketergantungan biologi dan sosiologi dalam kaitan hubungan antara manusia dengan
lingkungannya, dimana hal itu secara signifikan mempengaruhi pemikiran-pemikiran psikologi
lingkungan. Dengan perkembangan ilmu ekologi, seseorang tidak dianggap terpisah dari
lingkungannya, melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan. Pendapat
mengenai hubungan yang saling tergantung antara manusia dengan lingkungannya pada saat
ini akan tampak pada teori-teori yang dikembangkan pada disiplin psikologi lingkungan.
Lingkungan dan penghuninya masih sering dikaji sebagai komponen yang terpisah, meskipun tidak ada keraguan lagi adanya hubungan yang saling tergantung di antara mereka.
Behaviorisme. Pemikiran kalangan behavioris muncul sebagai reaksi atas kegagalan teori-teori kepribadian untuk menerangkan perilaku manusia.
Pada saat ini secara umum dapat diterima bahwa dua hal penting yang menjadi pertimbangan adalah konteks lingkungan dimana suatu perilaku muncul dan variabel-variabel personal (seperti kepribadian atau sikap). Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka akan lebih dapat diramalkan suatu fenomena manusia dan lingkungannya daripada jika dibuat pengukuran sendiri-sendiri.
Psikologi Gestalt. Dari pandangan Gestalt, suatu perilaku didasarkan pada proses kognitif, yang dipengaruhi oleh persepsi terhadap stimulus tersebut. Pengaruh Gestalt pada psikologi lingkungan dapat dilihat antara lain pada kognisi lingkungan, misalnya untuk menjelaskan persepsi.
Metode penelitian pada psikologi lingkungan:
 Studi Korelasi
Seorang peneliti dapat menggunakan variasi dari metode korelasi, jika seorang peneliti berminat untuk memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi (Veitch & Arkkelin, 1995). Studi ini menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan atau peristiwa yang terjadi di alam nyata tanpa dipengaruhi oleh pengumpulan data.
Namun sesempurna apapun suatu studi juga memiliki kelemahan. Kelemahan dari studi kasus adalah lemahnya validitas internal, berkebalikan dengan studi laboratorium yang memiliki tingkat validitas internal yang lebih tinggi, namun memliki validitas eksternal yang lebih rendah jika dibandingkan dengan studi korelasi.
Eksperiment Laboratorium
Jika peneliti tertarik untuk memastikan tingkat validitas internal yang tinggi, maka studi inilah yang sangat tepat (Veitch & Arkkelin, 1995). Metode ini member kebebasan kepada peneliti untuk melakuakn manipulasi secara sistematik dengan tujuan mengurangi variable-variabel yang mengganggu. Metode ini mengambil subjeknya secara random, yang berarti semua subjek memiliki kesempatan yang sama dalam semua keadaan eksperimen. Namun kelemahan dari metode ini salah satunya adalah hasil yang diperoleh di laboratorium belum pasti dapat diterpkan di luar laboratorium.
 Eksperimen Lapangan
Metode ini adalah metode penengah antara Korekasi dengan Eksperiment Laboratorium. Asumsinya adalah jika peneliti ingin menyeimbangkan validitas internal yang didapat dalam eksperiment laboratorium dengan validitas eksternal yang didapat dari studi korelasi. Dalam metode ini peneliti tetap melakukan manipulasi sitematis, hanya bedanya peneliti juga harus member perhatian pada variable eksternal dalam suatu seting tertentu.
Teknik-Teknik Pengukuran
Beberapa disajikan beberapa contoh tekhnik pengukuran dengan keunggulannya masing-masing, antara lain mudah dalam scoring, administrasi maupun dalam proses pembuatannya. Antara lain:
A Self-report
B Kuisioner
C Wawancara atau Interview
D Skala Penilaian






SUMBER:
http://pdfcast.org/pdf/beberapa-teori-psikologi-lingkungan,  Diakses tanggal 14-03-2011/ pukul 19.53
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab2-pendekatan_ teori_dan_metode_penelitian_psikologi_lingkungan.pdf, ,  Diakses tanggal 14-03-2011/ pukul 19.53
Avin Fadilla Helmy, Beberapa Teori Psikologi Lingkungan,  Diakses tanggal 14-03-2011/ pukul19.53 http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf



Minggu, 06 Maret 2011

KESESAKAN

KESESAKAN PADA LANSIA YANG BERKUNJUNG KE PASAR




ADIT ANDINI
3 PA 01
10508004
PSIKOLOGI LINGKUNGAN









BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Semakin banyak penduduk di negeri ini, menjadikan negeri ini padat, banyaknya rumah-rumah, gedung-gedung yang dapat membuat kita sesak atau sempit. Kurangnya lahan membuat negri ini mengalami becana seperti banjir, kurangnya penyerapan air, suhu semakin meningkat, dll.  Semakin membuat sesak yang akhirnya berdampak pada manusia juga.
Semakin padatnya penduduk dapat terjadinya kesesakan. Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikian secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.
Fenomena yang telah terjadi kesesakan di pasar yaitu banyak pengunjung pasar  semakin sesak dan padat yang dirasakan pengunjung sehingga banyak yang sulit untuk berjalan, banyaknya  copet, suhu yang panas sulit bernafas,dll.
Banyaknya lansia yang masih pergi ke pasar untuk berbelanja. Bagi mereka lebih baik ke pasar di banding berbelaja di supermarket.  Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4).

B. Pertanyaan Penelitian
  1. Bagaimanakah gambaran kesesakan pada lansia yang berkunjung ke pasar?
  2. Faktor-faktor apa yang  menyebabkan terjadinya kesesakan?

C. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran kesesakn pada lansia yang berkunjung ke pasar dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesesakan.

D. Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut masalah tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat, khususnya bagi psikologi lingkungan.
2.      Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada lansia untuk berhati-hati dan waspada apabila pergi ke pasar dengan semakin padatnya pasar semakin berbahaya untuk para lansia pabila pergi sendiri.




BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A.    KESESAKAN


1.      Pengertian kesesakan.
Beberapa definisi kesesakan menurut beberapa ahli :

- Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikian secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu ksatuan ruang.

- Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu dimana factor – factor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler (molecular crowding), yaitu perasaan sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal dan kesesakan molar (molar crowding), yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.

- Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
- Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) mengatakan, kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

2.      Faktor-faktor kesesakan

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.

Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari :
a) Kontrol pribadi dan locus of control
b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Faktor Sosial. Faktor sosial yang berpengaruh adalah:

a) Kehadiran dan perilaku orang lain
b) Formasi koalisi
c) Kualitas hubungan
d) Informasi yang tersedia

Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor – faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah. Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tunggal, kompleks perubahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah rumah tunggal (unit hunian tunggal).

Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan). Faktor situasional tersebut antara lain:
a) Besarnya skala lingkungan
b) Variasi arsitektural

3.      Pengaruh Kesesakan

Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku Menurut Beberapa Ahli:
- Aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain
- Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya
- Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
- Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).
- Penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
- Malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
- Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)
- Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi :
(1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain;
(2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih;
(3) kontrol pribadi yang kurang
(4) stimulus yang berlebihan.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.



B.     LANSIA


1.      Pengertian lansia
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4). Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok yakni :

a) Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia.
b) Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
c) Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.

Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan di alami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri,
kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).

2.      Batasan Lansia

Ada beberapa pendapat mengenai batasan umur lanjut usia yaitu:

a.     Menurut Organisasi Kesehatan Dunia Lanjut usia meliputi :
usia pertengahan yakni kelompok usia 46 sampai 59 tahun. Lanjut usia (Elderly) yakni antara usia 60-74  tahun. Usia lanjut tua (Old) yaitu antara 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (Very Old) yaitu usia diatas 90 tahun.

b. Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 1998
Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas.

c. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro pengelompokkan lanjut
usia sebagai berikut :
Usia dewasa muda (Elderly adulthood) : 18 atau 20-25 tahun. Usia dewasa penuh (Middle year) atau maturitas : 25-60 atau 65 tahun. Lanjut usia (Geriatric Age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur 75-80 tahun (Old) dan lebih dari 80
tahun (Very Old).


3.      Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia menurut
Nugroho (2000) yaitu :
a.       Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia diakibatkan oleh terjadinya proses degeneratif yang meliputi :

1)      Sel terjadi perubahan menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar ukurannya, serta berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya intraseluler.

2) Sistem persyarafan terjadi perubahan berat otak 10-20, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi dan mengecilnya syaraf panca indera yang menyebabkan berkurangnya penglihatan, 10 hilangnya pendengaran, menurunnya sensasi perasa dan
penciuman sehingga dapat mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan misalnya glukoma dan sebagainya.

3) Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun dan
pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa atau stress. Hilangnya kemampuan pendengaran meningkat sesuai dengan proses penuaan dan hal yang seringkali merupakan keadaan potensial yang dapat disembuhkan dan berkaitan dengan efek-efek kolateral seperti komunikasi yang buruk dengan pemberi perawatan, isolasi, paranoia dan penyimpangan fungsional.

4) Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih terbentuk spesies, lensa lebih suram sehingga menjadi katarak yang menyebabkan gangguan penglihatan, hilangnya daya akomodasi, meningkatnya ambang pengamatan
sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, menurunnya lapang pandang sehingga luas pandangnya berkurang luas.

5) Sistem kardiovaskuler terjadi perubahan elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan 11 jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi
dan volume kehilangan elastisitas pembuluh darah karena kurangnya efektivitas pembuluh darah feriver untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk, duduk keberdiri bisa mengakibatkan tekanan darah menurun menjadi mmHg yang
mengakibatkan pusing mendadak, tekanan darah meninggi diakibatkan ole meningkatnya resitensi dari pembuluh darah perifer.

b. Perubahan mental
Meliputi perubahan dalam memori secara umum. Gejala-gejala memori cocok dengan keadaan yang disebut pikun tua, akhir-akhir ini lebih cenderung disebut kerusakan memori berkenaan dengan usia atau penurunan kognitif berkenaan dengan proses menua. Pelupa merupakan keluhan yang sering dikemukakan oleh manula, keluhan ini di anggap lumrah dan biasa oleh lansia, keluhan ini didasari oleh fakta dari peneliti cross sectional dan logitudional didapat bahwa kebanyakan, namun tidak semua lansia mengalami gangguan memori, terutama setelah usia 70 tahun, serta perubahan IQ
(intelegentia quotient) tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor terjadi perubahan daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari factor waktu.

c. Perubahan-perubahan psikososial
Meliputi pensiun, nilai seseoarang sering di ukur oleh produktivitasnya dan identitas di kaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seorang pension (purna tugas) ia akan mengalami kehilangan financial, status, teman dan pekerjaan. Merasakan sadar akan kematian, semakin lanjut usia biasanya mereka menjadi semakin kurang tertarik terhadap kehidupan akhirat dan lebih mementingkan kematian itu sendiri serta kematian dirinya, kondisi seperti ini benar khususnya bagi orang yang kondisi fisik dan mentalnya semakin
memburuk, pada waktu kesehatannya memburuk mereka cenderung untuk berkonsentrasi pada masalah kematian dan mulai dipengaruhi oleh perasaan seperti itu, hal ini secara langsung bertentangan dengan pendapat orang lebih muda, dimana kematian mereka tampaknya masih jauh dank arena itu mereka kurang memikirkan kematian.

d. Perubahan psikologis
Masalah psikologis yang dialami oleh lansia ini pertama kali mengenai sikap mereka sendiri terhadap proses menua yang mereka hadapi, antara lain penurunan badaniah atau dalam kebingungan untuk memikirkannya. Dalam hal ini di kenal apa yang di sebut
disengagement theory, yang berarti ada penarikan diri dari masyarakat dan diri pribadinya satu sama lain. Pemisahan diri hanya dilakukan baru dilaksanakan hanya pada masa-masa akhir kehidupan lansia saja. Pada lansia yang realistik dapat menyesuaikan diri 13 terhadap lingkungan baru. Karena telah lanjut usia mereka sering
dianggap terlalu lamban, dengan gaya reaksi yang lamban dan kesiapan dan kecepatan bertindak dan berfikir yang menurun. Daya ingat mereka memang banyak yang menurun dari lupa sampai pikun dan demensia, biasanya mereka masih ingat betul peristiwa-peristiwa yang telah lama terjadi, malahan lupa mengenal hal-hal yang baru terjadi.













BAB III

METODE PENELITIAN


A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan bentuk studi kasus yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan.
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller dalam moleong (2004) tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang – orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Teknik pengambilan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahaan dan gambaran data yang ingin diperoleh (Maryaeni, 2005).
Dari pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan dan memberikan gambaran melalui pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Menurut Moleong (dalam Poerwandari, 2000) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau objek yang dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Menurut Poerwandari (2005) studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe:
  1. Studi kasus intrinsik
Penelitian yang dilakukan karena adanya ketertarikan dan berusaha untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan.
  1. Studi kasus Instumental
Penelitian yang dilakukan pada suatu kasus yang unik dan dimaksudkan untuk memahami isu dengan lebih baik, kemudian mengembangkannya dan memperhalus teori.
  1. Studi kasus kolektif
Merupakan suatu perluasan dari studi kasus instrumental sehingga dapat mencakup beberapa kasus. Tujuannya dalah untuk mempelajari fenomena atau populasi atau kondisi umum dengan lebih mendalam. Studi kasus ini sering disebut juga studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di dalam tiap kasus maupun antar kasus.
Moleong (dalam Maulana, 2004) menyebutkan studi kasus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Partikularistik, studi yang memfokuskan pada hal-hal khusus, suatu program atau suatu fenomena seperti seseorang, keluarga, sebuah kantor, sebuah perusahaan, suatu kelas, kelompok maupun organisasi.
  2. Naturalistik, studi kasus yang membahas tentang orang-orang sebenarnya atau situasi yang terbanyak dari proses mengumpulan data dilakukan dalam situasi sebenarnya.
  3. Data uraian rinci, dalam hal ini sumber studi kasus termasuk pengamat berperan serta atau tidak berperan serta. Wawancara, sumber historis dan naratif, sumber tertulis, seperti jurnal dan buku harian.
  4. Induktif, hampir sebagian besar dari studi kasus ini bergantung pada alasan induktif. Konsep generalisasi, hipotesis yang muncul dari penyajian data-data berasal dari suatu konteks tertentu.
  5. Heuristik, studi kasus membawa pembaca pada pemahaman tentang fenomena yang diteliti.


B. Subjek Penelitian


1.      Karakteristik Subjek
Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah seorang Lansia bewarganegara Indonesia yang pernah pegi ke pasar dan mengalami tau merasakan kesesakan. Jumlah Subjek
Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) mengemukakan bahwa untuk prosedur pengambilan dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik antara lain:
  1. Diarahkan tidak ada pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus yang tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
  2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
  3. Tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks.
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anggota Polri berusia 35 tahun, yang pernah mengikuti perang.


C.    Tahap-tahap Penelitian


Adapun tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi, yaitu :
1.      Tahap Persiapan Penelitian.
Peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan beberapa teori-teori yang relevan dengan masalah. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mencapai masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dari koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan menyiapkan diri untuk melakukan wawancara.
Kemudian peneliti mencari calon subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Peneliti bermaksud untuk mendapatkan data dan subjek yang sesuai untuk tujuan penelitian ini dengan mencari subjek sendiri maupun dengan bantuan dari orang lain. Setelah mendapatkan subjek yang bersedia untuk diwawancara, kemudian peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.
2.      Tahap Pelaksanaan Penelitian.
Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti mempelajari informasi yang ada menyangkut latar belakang subjek, sehingga pada saat wawancara peneliti sudah mempunyai sedikit gambaran mengenai subjek.
Selanjutnya peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan hasil wawancara kedalam bentuk verbatim tertulis. Kemudian peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di atas. Setelah itu membuat diskusi dan kesimpulan dari hasil penelitian. Kemudian hasil diskusi dari kesimpulan yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.


1.      Teknik Pengumpulan Data


1.      Observasi.
Observasi secara harfiah diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas gejala-gejala (fenomena) yang sedang diteliti (Soeratno, 1987).
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Narbuko & Achmadi, 2004).
Menurut Sukandarrumidi (2002) observasi adalah pengamatan dan pencatatan suatu objek denga sistematika fenomena yang diselidiki.
Menurut Yehoda (dalam Narbuko&Achmadi, 2004) menjelaskan bahwa pengamatan akan menjadi alat pengumpulan data yang baik apabila :
  1. Mengabdi kepada tujuan penelitian.
  2. Direncanakan secara sistematik.
  3. Dicatat dan dihubungkan dengan proposisi-proposisi yang umum.
  4. Dapat dicek dan dikontrol validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.
Beberapa jenis observasi yang lazim digunakan untuk alat pengumpulan data menurut Sukandarrumidi (2002)  sebagai berikut :
1). Observasi partisipan.
Dalam hal ini observer terlibat langsung dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diamati. Peneliti seolah-olah merupakan bagian dari mereka. Selama peneliti terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek, ia harus tetap waspada untuk tetap mengamati kemunculan tingkah laku tertentu.
2). Observasi nonpartisipan.
Dalam hal ini peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.
3). Observasi sistematik.
Peneliti telah membuat kerangka yang memuat faktor – faktor yang telah diatur terlebih dahulu.
Kendala yang dihadapi adalah:
a.       Ruang lingkup yang lebiih sempit, kesempatan atau waktu sangat pendek.
b.      Memerlukan observer banyak, dengan tugas khusus.
c.       Mempergunakan alat pencatat mekanik (tustel, tape recorder, video camera).
4). Apabila situasi dan kondisi observer dikendalikan.
Didalam pelaksanaannya beberapa hal yang perlu dipertimbangkan :
a.       Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seragam untuk semua   observer.
b.      Situasi tersebut dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan timbulnya variasi tingkah laku yang diamati oleh observer.
c.       Situasi dibuat sedemikian rupa sehingga observee tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari observasi.
d.      Observer atau alat pencatat mengadakan aksi – reaksi, bukan hanya jumlah aksi – reaksi semata – mata.

  1. Alat – alat observasi.
Menurut Narbuko & Achmadi (2004 ) pada dasarnya macam alat observasi adalah sebagai berikut :
1.      Anecdotal Record.
Anecdotal Record yang juga disebut daftar riwayat kelakuan adalah catatan – catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan – kelakuan luar biasa yang dianggap penting oleh peneliti.
Dalam pelaksanaanya, pencatatan harus dilakukan secepat – cepatnya seperti apa adanya baik oleh peneliti sendiri atau orang lain yang dipercayainya.
2.      Catatan Berkala.
Dalam catatan ini, peneliti tidak mencatat macam – macam kejadian khusus, melainkan hanya pada waktu – waktu tertentu saja, oleh karena itu data yag dicatat kurang lengkap dan banyak yang dilupakan oleh observer. Akibatnya hasilnya kurang dapat dipercaya.
3.      Check List.
Check list yaitu daftar yang berisi nama-nama subjek dan faktor – faktor yang hendak diselidiki, yang bermaksud mensistematiskan catatan observasi, alat ini lebih memungkinkan peneliti memperoleh data yang meyakinkan dibidang lain. Sebab faktor – faktor yang akan diteliti sudah dicatat dalam daftar isian, peneliti tinggal memberikan tanda (check) pada blanko itu untuk tiap subjek yang diobservasi. Karena itu alat itu disukai para peneliti. 
4.      Rating Scale.
Pencatatan dengan rating scale adalah mencatat gejala menurut tingkat – tingkatnya, alat ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan subjek menurut tingkatnya. Ia merupakan kriteria dan sumber yang penting dalam penelitian.
Ada kemungkinan kelemahan yang muncul dari penggunaan alat ini yaitu terjadi :
a.       Halo Effects, yaitu kesesatan jika observer dalam pencatatan terpikat oleh kesan – kesan umum yang baik pada observees, sedang ia tidak menyelidiki kesan – kesan umum itu.
b.      General Effects, yaitu kesesatan yang terjadi karena keinginan untuk berbuat baik, jadi dalam catatan ditambah atau dikurangi tidak seperti yang sebenarnya terjadi.
c.       Carey Over Effects, terjadi jika pencatatan tidak dapat memisahkan satu gejala dari  yang lain, dan jika gejala yang satu kelihatan baik, yang lan ikut dicatat baik.
5.      Mechanical Devices
Yaitu observasi yang menggunakan alat – alat mekanik sebab lebih praktis dan efektif. Misalnya menggunakan foto.
Keuntungan penggunaan alat ini adalah :
a.       Dapat diputar lagi sewaktu dibutuhkan.
b.      Dapat diputar lambat – lambat sehingga yakin untuk diteliti.
c.       Memberi sumbangan berharga kepada perancang penelitian.
d.      Melatih observer untuk berbuat cermat. 

  1. Kekurangan dan kelebihan observasi
Menurut Narbuko & Achmadi ( 2004 ) Observasi memiliki kekurangan dan kelebihan yaitu sebagai berikut
1.      Kekurangannya
a.       Banyak kejadian – kejadian yang tidak dapat dicapai dengan observasi langsung, misalnya kehidupan pribadi seseorang yang sangat rahasia.
b.      Bila observee tahu bahwa dia sedang diteliti, maka mereka akan menunjukan sikap, atau sengaja menimbulkan kesan yang lebih baik ataupun lebih jelek terhadap observer.
c.       Setiap kejadian tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya, sehingga menyulitkan observer. Demikian pula untuk menunggu timbulnya reaksi yang dibuat seringkali tidak dapat secara spontan, bahkan kadang – kadang harus menunggu waktu yang panjang sekali, sehingga membosankan.
d.      Sering kali tugas observasi terganggu, karena adanya peristiwa – peristiwa yang tidak diduga – duga terlebih dahulu , misalnya keadaan cuaca buruk dan lain – lain.
e.       Observer serikali mengalami kesulitan di dalam mengumpulkan bahan – bahan yang diperlukan, karena kejadian – kejadian itu adakalanya berlangsung bertahun – bertahun, tetapi adakalanya sangat pendek waktu berlangsungnya kejadian itu, bahkan ada pula yang terjadi serempak dibeberapa tempat.
2.   kelebihannya
a.       Observasi merupakan alat yang langsung untuk meneliti bermacam – macam gejala. Banyak aspek – aspek tingkah laku manusia yang hanya dapat diamati melalui observasi langsung.
b.      Bagi seseorang yang selalu sibuk, lebih tidak keberatan untuk diamat – amati, daripada mengisi jawaban – jawaban dalam kuesioner.
c.       Dapat mencatat secara serempak dengan terjadinya sesuatu gejala.
Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik observasi nonpartisipan karena peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.

2.      Wawancara
Menurut Prabowo ( 1998 ) wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan.
Wawancara ( interview ) merupakan salah satu pengumpulan data dengan cara bertanya jawab langsung berhadap – hadapan dengan responden ( Soeratno, 1987 ).
Menurut Moleong ( 2004 ) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara ( interviewer ) yang mengajukan pertanyan dan yang di wawancarai ( interviwee ) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Menurut Najir ( 1983 ) wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide ( panduan wawancara ).
Sedangkan menurut Poerwandari ( 1998 ) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Patton ( dalam Moleong, 2004 ) ada bermacam – macam cara pembagian jenis wawancara, yaitu :
a.       Wawancara pembicaraan informal.
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang di wawancarai. Wawancara demikian dilakukan pada latar alamiah. Hubungan pewawancara dengan yang diwawancarai adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari – hari saja. Sewaktu pembicaraan berjalan, yang diwawancarai malah tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa sedang di wawancarai.
b.      Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok – pokok itu dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok – pokok yanng dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan.
c.       Wawancara baku terbuka.
Jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan, kata – katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap responden. Wawancara jenis ini bermanfaat dilakukan apabila pewawancara ada beberapa orang dan yang diwawancarai cukup banyak jumlahnya.
Sedangkan pembagian jenis wawancara menurut Guba & Lincoln (dalam Moleong, 2004) adalah sebagai berikut :
a.       Wawancara oleh Tim atau Panel.
Wawancara oleh tim berarti wawancara dilakukan tidak hanya oleh satu orang, tetapi oleh dua orang lebih terhadap seseorang yang diwawancarai. Jika cara ini dilakukan, hendaknya pada awalnya sudah dimintakan kesepakatan dan persetujuan dari yang diwawancarai, apakah ia tidak keberatan diwawancarai oleh dua orang. Di pihak lain, seseorang pewawancara dapat saja memperhadapkan dua orang atau lebih yang diwawancarai sekaligus, yang dalam hal ini dinamakan panel.
b.      Wawancara tertutup dan terbuka.
Pada wawancara tertutup biasanya yang diwawancarai tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa mereka diwawancarai. Mereka tidak mengetahui tujuan wawancara. Cara demikian tidak terlalu sesuai dengan penelitian kualitatif yang biasanya berpandangan terbuka. Jadi, dalam penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka yang para subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu.
c.       Wawancara Riwayat secara lisan.
Jenis ini adalah wawancara terhadap orang – orang yang pernah membuat sejarah atau yang telah membuat karya ilmiah, sosial, pembangunan, perdamaian, dan sebagainya. Maksud wawancara ini adalah untuk mengungkapkan riwayat hidup, pekerjaannya, kesenangannya, ketekunannya, pergaulannya, dan lain – lain. Wawancara semacam ini dilakukan sedemikian rupa sehingga  yang di wawancarai berbicara terus – menerus, sedangakan pewawancara duduk mendengarkan dengan baik diselingi dengan sekali – kali mengajukan pertanyaan.
  1. Wawancara terstruktur  dan wawancara tak terstruktur.
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan – pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis. Jenis ini dilakukan pada situasi jika sejumlah sampel yang representatif ditanyai dengan pertanyaan yang sama dan hal ini penting sekali.
Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang berbeda dengan yag terstruktur. Cirinya kurang di interupsi dan arbiter. Wawancara semacam ini digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara semacam ini menekankan kekecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal.
  Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka dimana para subjek tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu serta menggunakan petunjuk umum wawancara yang mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara.


2.      Alat Bantu Penelitian


      Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa alat bantu dalam mengumpulkan data penelitian, yaitu :
  1. Alat-alat tulis, seperti ; pulpen, pensil, dan kertas untuk mencatat observasi.
Alat tulis yang digunakan adalah buku tulis, pensil, pulpen, dan penghapus. Dengan tujuan untuk mencatat semua data dan informasi dalam penelitian.
4.      Tape Recorder.
Alat bantu ini diguanakan untuk merekam semua pertanyaan dan jawaban yangn diberikan subjek agar dapat menghemat waktu sehingga subjek tidak bosan menunggu peneliti dalam menulis jawaban. Alat perekam ini baru digunakan setelah mendapat izin dari subjek.
  1. Buku catatan observasi, berupa notes untuk mencatat hal-hal yang penting selama wawancara, selain itu untuk mencatat hasil observasi terhadap jalannya wawancara.
  2. Panduan wawancara.
Panduan ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam memberikan pertanyaan. Penduan ini berisi hal – hal pokok pertanyaan yang dibuat peneliti agar apa yang ingin diketahui peneliti tidak terlewatkan.
F.     Keakuratan Penelitian

Menurut Moleong ( 2004 ) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.  Teknik yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
Denzin dalam moleong ( 2004 ) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfatkan pengunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
Pada triangulasi dengan metode, menurut Patton dalam Moleong ( 2004 ), terdapat dua strategi, yaitu : (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan (2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Teknik triangulasi yang ketiga ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayan data. Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data. Pada dasarnya pengamatan suatu tim penelitian dapat direalisasikan dilihat dari segi teknik ini. Cara ini ialah membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analis lainnya.
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2004), berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.


G.    Teknik Analisis Data

Menurut Patton dalam Moleong (2004) analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Tujuan analisis data adalah menemukan makna dalam informasi yang dikumpulkan. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1992).
  1. Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Reduksi data berlangsung terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung. Bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, antisipasi akan adanya data sudah muncul ketika peneliti memutuskan kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan data yang dipilihnya. Reduksi data merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa saja yang sedang berkembang, semuanya merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan merupakan suatu bentuk analitis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi    ( Miles dan Huberman, 1992 ).
Koding atau membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian, peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya (Poerwandari, 1998). Secara praktis dan efektif, langkah awal koding dapat dilakukan melalui :
a.       Peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan transkrip untuk membubuhkan kode-kode atau catatan-catatan tertentu diatas transkrip tersebut.
b.      Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip atau catatan lapangan tersebut.
c.       Peneliti memberikan nama dengan kode tertentu dan membubuhkan tanggal.
Setelah langkah awal ini dilakukan, langkah selanjutnya adalah :
a.       Membaca transkrip, setelah transkrip selesai dibuat untuk mengidentifikasikan kemungkinan tema-tema yang muncul.
b.      Membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan mengambil kesimpulan.
c.       Selalu membawa buku catatan, komputer, atau perekam untuk mencatat pemikiran-pemikiran analitis yang secara spontan muncul.
d.      Membaca kembali data dan catatan analisis secara teratur dan secara disiplin segera menuliskan tambahan-tambahan pemikiran, pertanyaan-pertanyaan, dan insight, begitu hal tersebut muncul.
  1. Penyajian data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adaya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Setelah wawancara dilakukan, selain menulis verbatim dan melakukan pengkodean, penulis juga membuat analytical file ( catatan analitis ). Catatan analitis dapat diorganisasikan seputar beberapa wilayah topik. Pertama, catatan analitis dapat meliputi garis besar topik yang didiskusikan dalam setiap wawancara dan perubahan pada pedoman wawancara selama pelaksanaan penelitian.
Kegunaannya adalah membantu penulis mempertahankan catatan tentang permasalahan-permasalahan yang muncul selama wawancara dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang tidak termasuk dan melakukan follow up terhadap permasalahan yang diungkapkan oleh subjek. Catatan seperti ini membantu penulis untuk melakukan wawancara berikutnya. Kedua, catatan meliputi penelitian kritis dari pertanyaan penelitian yang ditanyakan dan bagaimana pertanyaan ini berubah ketika data dikumpulkan. Penulis terjun kelapangan dengan pertanyaan yang bersifat umum dan sama. Seiring dengan berlangsungnya wawancara, peneliti banyak mendapatkan insight dari jawaban-jawaban subjek sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi lebih kaya dan terfokus. Hal ini terutama terkait dengan keunikan life history subjek dan pola pikir mereka dalam menjawab setiap pertanyaan.
  1. Penarikan kesimpulan
Sejak awal pengumpulan data, peneliti mulai mencari makna dari data yang dikumpulkan, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat yang mungkin dan proposisi. Mula-mula belum jelas, namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh ( Glaser dan Strauss, dalam Miles dan Huberman, 1992 ). Kesimpulan-kesimpulan akhir mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode-metode pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti.
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu saat melakukan analisis banding antar kasus, dan analisis kesesuaian pola (pattern matching). Analisis kesesuaian pola dilakukan dengan cara membandingkan proposisi teoritis dengan data empiris yang diperoleh dari hasil wawancara. Jika terdapat kesesuaian antara proposisi teoritis dengan data empiris maka kesesuaian tersebut akan meningkatkan validitas internal dari studi kasus yang dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA