Sabtu, 12 Februari 2011

KEBISINGAN MEMPENGARUHI PERILAKU

KEBISINGAN MEMPENGARUHI PERILAKU MANUSIA




ADIT ANDINI
3 PA 01
10508004
PSIKOLOGI LINGKUNGAN






UNIVERSITAS GUNADRAMA
2011




BAB 1
1.1 LATAR BELAKANG
Pada lingkungan sekitar kita saat ini yang semakin terjadinya kepadatan, dengan bertambahnya penduduk, bertambahnya peralatan kehidupan, dan lain-lain. Dengan hal itu ternyata dapat menimbulkan kebisingan di lingkungan yang dapat mengganggu komunikasi, konsentrasi dan berbagai kegiatan lainnya. Hal ini dapat dilihat banyak emosi manusia yang meningkat  apabila berada ditempat yang bising, tidak konsentrasi belajar apabila suasana bising. Banyak orang yang sangat menyukai ketenangan dalam melakukan kegiatan.
Banyak kebisingan yang mempengaruhi perilaku manusia baik secara fisik maupun psikologis. Kebisingan merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan di kota-kota besar. Bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu dan atau membahayakan kesehatan. Laporan WHO tahun 1988 sebagaimana yang disampaikan oleh Ditjen PPM & PLP, Depkes RI (1995), menyatakan bahwa 8 – 12% penduduk dunia telah menderita dampak kebisingan dalam berbagai bentuk.
Suara yang tidak diinginkan akan memberikan efek yang kurang baik terhadap kesehatan. Suara merupakan gelombang mekanik yang dihantarkan oleh suatu medium yaitu umumnya oleh udara. Kualitas dan kuantitas suara ditentukan antara lain oleh intensitas (loudness), frekuensi, periodesitas (kontinyu atau terputus) dan durasinya. Faktor-faktor tersebut juga ikut mempengaruhi dampak suatu kebisingan terhadap kesehatan (Mansyur, 2003).
Suatu kejadian akibat kebisingan tidak hanya berdampak pada manusia tetapi pada mahlik lain. Kebisingan buatan manusia mengancam habitat laut yaitu Gemuruh mesin perahu, penelitian seismik yang dilakukan perusahaan minyak dan gas, isyarat yang digunakan tentara yang menerobos lautan memicu ‘kabut akustik dan suara hiruk pikuk’ bawah air, membuat takut hewan laut dan mempengaruhi perilakunya.
“Kini ada bukti yang berkaitan antara suara keras kebisingan di bawah air dengan beberapa kondisi kepanikan yang utama pada binatang laut menyusui, khususnya ikan paus berparuh di laut dalam,” Mark Simmonds, Direktur Sains Lembaga Pemeliharaan Ikan paus dan Lumba-Lumba, mengatakan pada sebuah  konferensi media di Roma.
Simmonds dalam acara selingan Konvensi Program Lingkungan PBB tentang Migrasi Spesies pada 1-15 Desember lalu menyatakan terdapat pula  perkembangan indikasi bahwa kasus kerusakan jaringan otot pada cetacean (mamalia laut, seperti lumba-lumba, ikan paus) terkait dengan kebisingan.
Para pakar menduga bahwa binatang yang terkejut akan cenderung menyelam dengan tak menentu dan menderita “bends”, mirip dengan yang diderita oleh manusia penyelam, yaitu gejala penyakit yang dialami para penyelam ketika ia menghentikan dekompresi (pengurangan tekanan udara) secara tidak benar setelah menyelam sangat dalam atau dalam waktu yang lama.
Menurut sebuah laporan baru yang dibuat oleh The International Fund for Animal Welfare - “Ocean Noise: Turn It Down” (Suara Samudera : Kecilkan Suaranya),  disebutkan bahwa jarak komunikasi ikan paus biru berkurang sebesar 90% sebagai akibat meningginya tingkat kebisingan.
Lebih dari 50 tahun yang lalu, suara gaduh frekuensi rendah dalam air telah meningkat dua kali lipat setiap 10 tahun dari dasa warsa sebelumnya, sementara jumlah perahu meningkat tiga kali lipat, begitu tulis laporan itu juga.
Ditambahkan juga bahwa suara yang dihasilkan oleh senapan angin yang digunakan untuk penelitian seismik (penelitian dengan metode memanfaatkan getaran) pada eksplorasi minyak dapat merambat sejauh 3.000 km lebih dari sumbernya.
Perilaku manusia adalah refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan sikap. Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu sendiri yang disebut juga faktor internal sebagian lagi terletak di luar dirinya atau disebut dengan faktor eksternal yaitu faktor lingkungan menurut WHO, yang dikutip oleh Notoatmodjo (1993).
Perilaku dalam sikap yaitu Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yag bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 1993).
Fenomena kebisingan mempengaruhi perilaku manusia yang berpacaran bahawa orang yang berpacaran pun ingin berada ditempat yang tenang karena akan memepengaruh perilakunya apabila ditempat yang bising. Jika mendengar lagu-lagu romantis yang beredar di pasaran saat ini, tak sedikit yang membuat saya berpikir apakah saat ini hubungan antar lawan jenis hanya sekadar pemuasan rasa ingin memiliki. Begitu pula jika melihat bagaimana orang-orang memperlakukan pasangan mereka saat berpacaran, tak jarang saya bertanya-tanya apa sebenarnya motivasi dan tujuan mereka dalam berpacaran. Beberapa waktu lalu, ketika saya ngobrol dengan beberapa teman, kami sempat membahas tentang perilaku pacaran di tempat sepi. Menurut teman saya, kebanyakan anak muda sekarang lebih senang memilih tempat sepi untuk berpacaran. “Karena bebas mau ngapa-ngapain,” katanya. “Kalau cowok memilih buat pacaran di tempat sepi, pasti karena ada motivasi yang kurang baik,” ujar teman saya yang lain. Coba saja kita pikir dengan logika. Apa alasan seseorang memilih untuk pergi ke tempat sepi? Pasti karena tidak ingin dilihat atau ditemui oleh orang lain. Pada dasarnya, manusia tidak suka dilihat atau ditemui oleh orang lain ketika dirinya sedang berada pada kondisi yang kurang berkenan, sedang melakukan hal yang buruk atau di luar kebiasaan masyarakat sekitarnya. Ketika seseorang memilih berpacaran di tempat sepi, banyak alasan yang bisa ia utarakan untuk menjadikan pilihannya terlihat baik dan masuk di akal. Ingin mengobrol serius dengan pasangannya dan tidak ingin terganggu oleh hiruk-pikuk keramaian, misalnya. Padahal, mengobrol di restoran yang tenang pun sebenarnya sudah cukup untuk menghindari kebisingan yang mengganggu konsentrasi. Banyak faktor yang menyebabkan perilaku seperti ini terjadi. Pengaruh media salah satunya. Adegan-adegan pacaran seringkali mengambil setting tempat sepi dan jauh dari keramaian. Faktor pergaulan yang semakin bebas juga menyebabkan bergesernya batas-batas sikap dalam berpacaran. Gaya berpacaran yang berduaan saja, jauh dari perhatian publik, semakin disukai dan menjadi pilihan pasangan-pasangan muda. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, pilihan untuk berpacaran di tempat yang sepi sebenarnya lebih banyak membawa dampak buruk daripada dampak yang baik. Apabila seseorang dihadapkan pada situasi berduaan saja dengan pasangannya, pikirannya akan lebih mudah digerakkan dan dikendalikan oleh nafsu. Pelecehan seksual bahkan pemerkosaan terhadap pasangan sendiri sering terjadi di saat sedang berduaan. Pada akhirnya pasangan sama-sama tersakiti dan berujung pada rusaknya hubungan mereka, bahkan beresiko menghancurkan mimpi-mimpi yang sedang dibangun untuk masa depan. Seperti perkuliahan, rencana mencari kerja, dan sebagainya. Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi keinginan untuk berduaan di tempat yang sepi? Sebaiknya kita menilik kembali mengapa dan untuk apa kita berpacaran. Apakah kita berpacaran sebagai motivasi dalam belajar dan bekerja? Apakah kita berpacaran karena menyayangi dan ingin mengenal pasangan kita? Sebaiknya kita tidak menjalin suatu hubungan hanya karena gengsi ingin mempunyai status “in a relationship” atau karena pemuasan emosi diri semata. Motivasi dan tujuan yang benar dalam suatu hubungan akan mempengaruhi bagaimana hubungan itu dijalani. Mendorong Kita untuk lebih bijak menyikapi berbagai hal dalam berpacaran, termasuk “berduaan dengan pacar”. Ketika kita menyadari bahwa pilihan berduaan di tempat sepi tidak membawa kegunaan apapun, kita akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Pada akhirnya, gaya berpacaran yang sehat dan berdampak positif merupakan pilihan.

Musik Bising Bikin Anda Cepat Mabuk yaitu Dentuman musik di bar atau diskotik bukan saja membuat Anda larut dalam suasana yang menghibur. Kerasnya volume suara musik yang diputar juga dapat merangsang kecepatan Anda dalam minum Alkohol. Bagi yang sering nongkrong di bar atau diskotik, fakta ini mungkin bukanlah hal yang baru. Tetapi sebuah penelitian ilmiah di Prancis menunjukkan, bertambah besarnya volume musik dapat memicu dan meningkatkan kecepatan seseorang menenggak bir atau minuman beralkohol  lainnya.

Para ahli ini menyimpulkan, musik yang gaduh atau bising berkorelasi dengan peningkatan konsumsi alkohol dan memperpendek waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengosongkan gelasnya. “Riset sebelumnya telah menunjukkan bahwa musik berirama cepat dapat merangsang kecepatan minum. Ada atau  tidak adanya musik jga  menyebabkan seseorang lebih banyak menghabiskan waktunya di suatu bar,” ujar Nicolas Gueguen, profesor ilmu perilaku Universite de Bretagne-Sud di Prancis.
“Riset ini untuk pertamakalinya menunjukkan bahwa pendekatan experimental dalam konteks nyata menemukan adanya pengaruh kebisingan musik dengan konsumsi alkohol. Kami membuktikan bahwa lingkungan musik yang diputar di suatu bar berkaitan dengan peningkatan konsumsi minuman keras.  Kami perlu mengimbau pemilik bar untuk memutar musik pada volume sedang  dan membuat para pelanggan sadar bahwa musik yang bising dapat mempengaruhi konsumsi alkohol ,” terang Gueguen.
Dalam risetnya yang dipublikasi dalam  Alcoholism: Clinical & Experimental Research, peneliti memantau 40 pria muda penggemar bir di dua bar kawasan Barat Prancis selama tiga malam yakni setiap Sabtu malam berturut-turut. Dengan izin pemilik bar, peneliti memanipulasi tingkat suara antara 72 desibel (level umum) hingga 88 desibel (level tinggi) dari 40 lagu yang dimainkan di bar.
Peneliti lalu memilih secara acak pria yang memesan bir di bar yang diobservasi tersebut dan memutar musik pada level kebisingan tertentu. Setelah masing-masing partisipan meninggalkan bar, level kebisingan kembali dimanipulasi dan pemilihan peminum secara acak  pun kembali dilakukan.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada korelasi antara musik bising dengan kecenderungan pengunjung bar untuk mabuk dan menenggak minumannya lebih cepat lagi. Ketika musik yang diputar volumenya keras, pengunjung bar memesan rata-rata 3,4 minuman dan membutuhkan waktu kurang dari 11,5 menit untuk menenggak segelas bir.  Sedangkan ketika musik diputar dengan tingkat kebisingan normal, pengunjung  memesan rata-rata 2,6 gelas dan membutuhkan waktu 14,5 menit untuk  menghabiskan satu gelas minuman.
Peneliti menyatakan ada dua hal yang dapat  menjelaskan hubungan antara kebiasaan minum alkohol dan musik yang bising. “Satu, dalam kesepakatan dengan riset sebelumnya tentang musik, makanan dan minuman , tinggnya level  suara dapat meningkatkan ransangan menjadi lebih tinggi, yang berujung pada keinginan meminum lebih cepat dan memesan banyak minuman,” terang Gueguen .
“Kedua, musik yang bising mungkin akan memiliki efek negatif terhadap interaksi sosial  di bar, sehingga pengunjung bar minum lebih banyak karena sedikit berbicara.”(kompas)
Fokus utama psikologi lingkungan adalah ‘hubungan manusia dengan lingkungannya’ namun ini terkadang malah bisa menjadi dikotomi (punya arti mendua) antara personal di satu sisi dan lingkungan disisi lainnya. Secara kebedaan atau dikotomi ini bisa diabaikan karena hal itu hanya merupakan sebagian dari keseluruhan hubungan lingkungan dengan manusia sebagai suatu komponen. Ini berarti juga manusia tidak bisa eksis atau ada kecuali punya hubungan dengan komponen lainnya yang membentuk situasi lingkungan.
Heimstra dan Mc. Farling ( dalam Prawitasari, 1989) menyatakan bahwa psikologi lingkungan adalah disiplin yang memperhatikan dan mempelajari hubungan antar perilaku manusia dengan lingkungan fisik.
Dalam Psikologi Lingkungan terdapat istilah ambient conditions yaitu Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya atau penerangan, warna, temperature, kelembaban. Maka dari itu Kebisingan Dapat Mempengaruhi Perilaku Manusia.


1.2 TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui seberapa besar kebisingan lingkungan mempengaruhi perilaku manusia atau mahluk lain baik secara psikologis maupun fisik.






















BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebisingan

Dalam Psikologi Lingkungan terdapat istilah ambient conditions yaitu Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound atau kebisingan mempengaruhi perilaku.
Kebisingan merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan di kota-kota besar. Bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu dan atau membahayakan kesehatan. Laporan WHO tahun 1988 sebagaimana yang disampaikan oleh Ditjen PPM & PLP, Depkes RI (1995), menyatakan bahwa 8 – 12% penduduk dunia telah menderita dampak kebisingan dalam berbagai bentuk dan diperkirakan angka tersebut terus akan meningkat, dan pada tahun 2001 diperkirakan 120 juta penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran 1. Tingkat kebisingan lalulintas jalan pada permukiman di tiga kota yaitu Kota Bekasi, Bogor dan Tangerang rata-rata di atas 70 dB A 2 .
Suara yang tidak diinginkan akan memberikan efek yang kurang baik terhadap kesehatan. Suara merupakan gelombang mekanik yang dihantarkan oleh suatu medium yaitu umumnya oleh udara. Kualitas dan kuantitas suara ditentukan antara lain oleh intensitas (loudness), frekuensi, periodesitas (kontinyu atau terputus) dan durasinya. Faktor faktor tersebut juga ikut mempengaruhi dampak suatu kebisingan terhadap kesehatan (Mansyur, 2003) 3. Lalulintas jalan merupakan sumber utama kebisingan yang mengganggu sebagian besar masyarakat perkotaan. Salah satu sumber bising lalulintas jalan antara lain berasal dari kendaraan bermotor, baik roda dua, tiga maupun roda empat, dengan sumber penyebab bising antara lain dari bunyi klakson saat kendaraan ingin mendahului atau minta jalan dan saat lampu lalulintas tidak berfungsi.
Gesekan mekanis antara ban dengan badan jalan pada saat pengereman mendadak dan kecepatan tinggi; suara knalpot akibat penekanan pedal gas secara berlebihan atau knalpot imitasi; tabrakan antara sesama kendaraan; pengecekan perapian di bengkel pemeliharaan; dan frekuensi mobilitas kendaraan, baik dalamjumlah maupun kecepatan (Depkes, 1995) 4. Pengaruh buruk kebisingan, didefinisikan sebagai suatu perubahan morfologi dan fisiologi suatu organisma yang mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional untuk mengatasi adanya stress tambahan atau peningkatan kerentanan suatu organisma terhadap pengaruh efek faktor lingkungan yang merugikan, termasuk pengaruh yang bersifat sementara maupun gangguan jangka panjang terhadap suatu organ atau seseorang secara fisik, psikologis atau sosial. Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunikasi, gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku permukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari (Mansyur, 2003) 3.
Dampak dari kebisingan di lingkungan perumahan terhadap kesehatan masyarakat antara lain gangguan komunikasi, gangguan psikologis, keluhan dan tindakan demonstrasi, sedangkan keluhan somatik, tuli sementara dan tuli permanen merupakan dampak yang dipertimbangkan dari kebisingan dilingkungan kerja/ industri. Sedangkan gangguan kesehatan psikologis berupa gangguan belajar, gangguan istirahat, gangguan sholat, gangguan tidur dan gangguan lainnya (Depkes, 1995) 4.
Tingkat kebisingan di permukiman di sekitar Jalan Raya Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, pada jarak 0 m dari jalan raya sebesar 76 dB A dan pada jarak 50 m dari jalan raya sebesar 62,9 dBA, sedangkan gangguan kesehatan akibat kebisingan jalan raya sebesar 36,7 % (Agustin, 2003) 5. Sedangkan baku mutu tingkat kebisingan maksimun di yang dianjurkan sebesar 45 dB A dan maksimum yang diperbolehkan sebesar 55 dB A pada Zona B yaitu zona yang diperuntukkan bagi perumahan, tempat pendidikan, rekreasi dan sejenisnya (Depkes, 1995) 4, atau baku tingkat kebisingan di lingkungan sekolah yang dipersyaratkan sebesar 55 dB A (KLH, 2002), atau 35 dBLAeq untuk pengukuran di dalam dan 55 dBLAeq untuk pengukuran diluar (enHealth, 2004) 6. Pengaruh kebisingan pada 55 34 MAKARA, KESEHATAN, VOL. 11, NO. 1, JUNI 2007: 32-37 – 65 dBALeq terhadap kesehatan antara lain berupa gangguan kenyamanan, gangguan komunikasi, gangguan konsentrasi dan menimbulkan rasa kesal (Berglund, 1996) 7. Kondisi tersebut di atas merupakan salah satu faktor risiko yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan.
Disadari atau tidak,kita berada pada tatanan kehidupan sosial yang sangat mengagungkan Budaya Kasat Mata.Seringkali kita menjadi ribut bagaikan orang kebakaran jenggot jika kebetulan kita melihat perempuan memakai kaos dengan belahan dada rendah ataupun celana dengan belahan pantat menyembul.Kita,dan juga para pamong di pemerintahan akan merasa gerah dan geram jika melihat maraknya pengemis dan gelandangan di jalan-jalan protokol kita.Kita pun pasti akan membuat reaksi yang sungguh reaksioner terhadap apapun yang terlihat mata.Betapa mata telah memperoleh kemanjaan pada budaya yang berkembang dalam kehidupan sosial kita.Begitu memanjakannya kita pada mata,hingga tanpa sadar kita bersikap bahwa mata hanya boleh melakukan fungsinya untuk sesuatu yang baik,indah,layak dan patut.Yang sayangnya seringkali terlampau subyektif sifatnya.
Di sisi yang lain kita sangat tidak sadar.Bahwa sebetulnya,dengan terlalu memanjakan mata,kita melupakan organ indra vital kita yang lainnya.Yakni telinga.Karena terlalu asyik memanjakan mata,kita tak sadar bahwa ada bahaya baru yang sedang mengancam dan mengintai kita.Bahaya tersebut hanya dapat ditengarai oleh telinga.Bahaya tersebut bahkan sudah merupakan sebuah koloni yang siap menjajah dan meluluh lantakkan daya persepsi otak kita.KEBISINGAN.
Setiap hari sebetulnya kita berhadapan dan dihadapkan pada kebisingan.Penyebabnya adalah produk teknologi dan lanskap lingkungan tempat tinggal kita.Anak-anak yang berteriak-teriak bermain bola sejak jam dua siang hingga menjelang Maghrib.Penjual roti dengan speaker jingle yang karena accu dinamonya rusak menimbulkan bunyi yang aneh dan memekakkan telinga.Alat penyedot debu.Bahkan volume dari televisi dan peralatan stereo kita.Juga tatkala tetangga kita mendatangkan mesin pengaduk semen dan gerinda metal untuk renovasi rumahnya.Dalam ambang tertentu semua itu dapat menjadi kebisingan.Sebuah bahaya yang terlanjur bersifat laten.
Keadaan ini diperparah dengan konstruksi bangunan publik yang sama sekali tak memikirkan hal akustik ruangan.Gedung kesenian di kota-kota dibangun dengan arsitektur fisik bangunan yang megah.Bermilyar rupiah.Namun sama sekali tak memperhitungkan segi akustik.Sehingga jika ada pementasan teater atau musik dalam gedung tersebut,bunyi akan memantul dinding,plafon dan lantai dengan pola tumpang tindih yang hasil akhirnya adalah ketidakjelasan ucapan atau artikulasi.Dan tentu saja,ini adalah sebuah kebisingan.Namun itulah budaya laku sosial kita selama ini.Semua demi keindahan yang dinikmati mata.Dan bukan untuk kenyamanan telinga.
Kebisingan memang telah menjadi sebuah bentuk polusi yang membahayakan.Orang sering lupa,bahwa kebisingan bukan hanya masalah telinga semata.Kebisingan dapat mempengaruhi fisik dan bahkan psikis seseorang.Bahaya yang ditimbulkan oleh kebisingan belakangan populer dengan sebutan HELL OF DECIBELL.Atau neraka desibel.Desibell adalah satuan untuk intensitas bunyi.
Penelitian institut terkemuka di Eropa terutama Institut Max Plank di Jerman,menyebutkan bahwa telinga manusia tidak akan tahan jika terus menerus mendengar bunyi dengan intensitas 70 dB.Padahal,kebisingan di sebuah Mall di Jakarta berada pada kisaran 90 – 98 dB!Sebetulnya telinga hanyalah indera penangkap bunyi.Yang melakukan kegiatan mendengarkan sebetulnya adalah otak kita.Bunyi yang ditangkap telinga diubah menjadi sinyal elektro kimia dan mengalir ke otak Di otak inilah persepsi tentang mendengarkan diolah.Bisa dibayangkan betapa parahnya keadaan otak kita jika senantiasa diasup oleh bunyi dengan intensitas diluar ambang kemampuan telinga kita.
Fakta lain seputar bahaya kebisingan adalah bahwa sebetulnya telinga adalah dinamisator otak.Agar bisa berfungsi maksimal,otak membutuhkan 3.000.000 rangsangan dalam bentuk energi per detiknya,selama paling sedikit 4,5 jam,Dan,ini yang penting,lebih dari 50% asupan energi otak diterima dari telinga.Bisa dibayangkan jika telinga mengalami gangguan fungsi akibat terus-menerus harus berhadapan dan dihadapkan pada kebisingan.Pastilah karena fungsi telinga terganggu,asupan energi ke otak akan terganggu juga.Efeknya adalah gangguan psikomotorik.Fisik dan juga jiwa,
Institut Max Plank di jerman pernah mengumumkan hasil risetnya bahwa orang-orang yang bekerja di pabrik dengan kebisingan tinggi cenderung memiliki persoalan rumah tangga yang akut.Bahkan FBI (badan penyelidik federal Amerika) pernah berkesimpulan bahwa 30% masyarakat di kota besar yang bising memiliki kecenderunyan menjadi PSIKOPAT SOSIAL.Sepintas orang-orang ini terlihat waras dan normal.Namun hanya oleh satu sebab sepele,perilakunya dapat berubah menjadi ganas dan sadis.Nampaknya gejala demikianpun sudah mulai menghinggapi masyarakat Indonesia.
Menanggapi realita bahaya kebisingan,kita memang tak memiliki pilihan.Selain Menuju Masyarakat (yang) Bebas Bising.Sebagai sebuah komunitas,masyarakat bebas bising telah digagas oleh Slamet Abdul Syukur.Seorang komponis musik kontemporer papan atas dunia.Tahun 2010 didirikanlah komunitas Masyarakat Bebas Bising (MBB).Dengan mendapat dukungan dari Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta.Penggiat MBB adalah para dokter THT Indonesia,para pakar akustik,dan juga beberapa tokoh agama.Dalam salah satu rapat kerjanya,MBB menghadirkan Prof.Dr.Ir Soegijanto,pakar akustik bangunan dari ITB Bandung,yang menyampaikan makalah seputar mengatasi polusi kebisingan.
Kitapun sebetulnya juga sudah sampai pada saat untuk menuju masyarakat yang bebas bising.Paling tidak kita dapat mulai dari diri kita sendiri dan rumah tangga kita.Hal yang paling gampang adalah menyetel volume televisi dan stereo set kita pada level lebih rendah dari 50% gain volumenya.Juga memulai pola hidup yang sedikit memanjakan telinga.Misalnya dengan memakai penutup telinga khususnya bagi bayi yang berada di lingkungan kita.
Kebisingan bukan masalah sederhana.kebisingan berkait erat dengan perilaku sosial budaya dan lingkungan.Ada cabang keilmuan yang khusus mengkaji hubungan antara bunyi di lingkungan dengan pencerapan inderawi serta pengaruhnya bagi fisik dan kejiwaan kita.Dikenal sebagai EKOLOGI AKUSTIK (Acoustic Ecology).Di tahun 2012 mendatang oleh MBB sudah dicanangkan seminar untuk menghadirkan para pakar ekologi akustik dari Universitas Indonesia (UI).Prinsip dari ekologi akustik adalah bahwa Tuhan menciptakan aneka bunyi sebagai sebuah “musik”.Bergantung pada bagaimana kita mengolah dan mempersepsikannya.Apakah kita mulai selektif atau membiarkan kebisingan menjajah otak kita.
Kebisingan juga dapat meningkatkan agresifitas Menurut Sears, Taylor dan Peplau (1997), perilaku agresif remaja disebabkab oleh dua faktor utama yaitu adanya serangan serta frustasi. Serangan merupakan salah satu faktor yang  paling sering menjadi penyebab agresif dan muncul dalam bentuk serangan verbal atau serangan fisik. Faktor penyebab agresi selanjutnya adalah frustasi. Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan atau tindakan tertentu. Polusi Udara, bau busuk dan kebisingan dilaporkan dapat menimbulkan perilaku agresi. Kebisingan menaikakn tekanan darah dan meningkatkan emosi yang dapat memicu perilaku agresivitas.



2.2 Perilaku

Perilaku manusia adalah refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan sikap. Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu sendiri yang disebut juga faktor internal sebagian lagi terletak di luar dirinya atau disebut dengan faktor eksternal yaitu faktor lingkungan.
Menurut WHO, yang dikutip oleh Notoatmodjo (1993), perubahan perilaku dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Perubahan alamiah (natural change), ialah perubahan yang dikarenakan perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya ataupun ekonomi dimana dia hidup dan beraktifitas.
2. Perubahan terencana (planned change), ialah perubahan ini terjadi, karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.
3. Perubahan dari hal kesediaannya untuk berubah (readiness to change), ialah perubahan yang terjadi apabila terdapat suatu inovasi atau program-program baru, maka yang terjadi adalah sebagian orang cepat mengalami perubahan perilaku dan sebagian lagi lamban. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda.
Perilaku optimal akan member dampak pada status kesehatan yang optimal juga.
Perilaku optimal adalah seluruh pola kekuatan, kebiasaan pribadi atau masyarakat, baik secara sadar atau tidak yang mengarah pada upaya pribadi atau masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dari masalah kesehatan. Pola kekuatan atau kebiasaan yang berhubungan dengan tindakan promotif, preventif, harus ada pada setiap pribadi atau masyarakat. Perilaku dapat dibatasi sebagai jiwa (berpendapat, berpikir, bersikap) (Notoatmodjo, 1999).
Tim WHO (1984), menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku ada 4 alasan pokok:
Ø  Pemikiran dan perasaan
Bentuk pemikiran dan perasaan ini adalah pengetahuan, kepercayaan, sikap, dan lain-lain.
Ø  Orang penting sebagai referensi
Apabila seseorang itu penting bagi kita, maka apa pun yang ia katakana dan lakukan cenderung untuk kita contoh. Orang inilah yang dianggap referensi seperti: guru, kepala suku dan lain-lain.
Ø  Sumber-sumber daya
Yang termasuk adalah fasilitas-fasilitas misalnya: waktu, uang, tenaga kerja, keterampilan, dan pelayanan. Pengaruh sumberdaya pada perilaku dapat bersifat positif maupun negative.
Ø  Kebudayaan perilaku Normal, kebiasaan, nilai-nilai dan pengadaan sumber daya didalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang disebut kebudayaan.
Perilaku normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku.
               





















BAB 3
KESIMPULAN

Dalam Psikologi Lingkungan terdapat istilah ambient conditions yaitu Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound atau kebisingan mempengaruhi perilaku.
Kebisingan mempengaruhi perilaku karena dapat meningkatkan tekanan darah, emosi, mengganggua konsentrasi, kenyamanan, dapat merusak pendengaran dan meningkatkan perilaku agresi.
Dampak dari kebisingan di lingkungan perumahan terhadap kesehatan masyarakat antara lain gangguan komunikasi, gangguan psikologis, keluhan dan tindakan demonstrasi, sedangkan keluhan somatik, tuli sementara dan tuli permanen merupakan dampak yang dipertimbangkan dari kebisingan dilingkungan kerja/ industri. Sedangkan gangguan kesehatan psikologis berupa gangguan belajar, gangguan istirahat, gangguan sholat, gangguan tidur dan gangguan lainnya (Depkes, 1995) 4.
Pengaruh Lingkungan Fisik pada Perilaku
Bagaimana lingkungan fisik berpengaruh terhadap lingkungan secara timbal
balik dijelaskan oleh Gibson (1966) dalam:
- Perception
- Cognition
- Attitudes etc.








DAFTAR PUSTAKA

Purnomo, H dan Wijadi. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Jakarta; Bina Rupa Aksara, 1996.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar